serba-serbi_minol_tradisional

Jakarta, GoHitz.com – Ternyata, minuman beralkohol (minol) tradisional ini sudah dikenal oleh masyarakat Indonesia selama berabad-abad lamanya jauh sebelum bangsa Eropa memperkenalkan minol mereka ke Tanah Air. Biasanya, minol tradisional ini adalah bagian kebiasaan hidup atau adat yang berlaku di masyarakat.

Hasil Fermentasi Tumbuhan Asli Indonesia

Kekayaan tumbuhan yang hidup di Indonesia ini menciptakan varietas minol tradisional yang beragam. Umumnya, minol tradisional ini berasal dari tanaman atau buah.

Sebagai contoh, tuak. Minol tradisional berasal dari hasil fermentasi yang berasal dari aren, legen dari pohon siwalan atau tal, atau sumber lainnya. Singkatnya, tuak ini berasal dari hasil fermentasi dari buah yang rasanya manis.

Atau bicara soal minol dari Sulawesi Utara yang bernama Cap Tikus. Minol ini berasal dari peyulingan Sagoer—cairan yang disadap dari pohon enau dengan kadar alkohol sekitar 5 persen—dan populer di kalangan petani untuk menambah stamina bekerja.

Lekat dengan Adat di Indonesia

Tak sekadar dikonsumsi saja, minol juga lekat sebagai instrumen perayaan momen penyembahan kepada Tuhan Yang Maha Esa, hingga menjadi sarana sosialisasi antara individu di dalam komunitas atau di luar komunitasnya.

Seperti halnya Arak Bali. Minol ini berasal dari hasil fermentasi dari sari kelapa dan buah-buahan lain. Biasanya, arak dengan kadar alkohol 37-50 persen ini digunakan dalam upacara adat untuk menghormati para dewata.

Belum Dilindungi Payung Legal

Sayangnya, minol tradisional yang hingga kini menjadi instrumen budaya ini kurang mendapat perhatian dari pemerintah. Akibatnya, minol tradisional belum diakui secara legal sebagai Minuman Mengandung Etil Alkohol (MMEA).

Mengapa legal menjadi penting? Sebab, mayoritas produsen minol tradisional ini adalah industri rumahan yang menjalankan usaha secara tradisional. Sebenarnya, tujuan mereka tidak secara langsung untuk motif bisnis, melainkan diperuntukan bagi kalangan terbatas untuk kebutuhan adat atau lainnya.

Selanjutnya, produksi rumahan dengan alat dan cara yang sangat tradisional ini menyulitkan para pihak untuk mendapatkan lisensi. Apalagi, produksi minol tradisional ini mengandalkan “resep nenek moyang” dan alat produksi rumah tangga tidak menjamin higienitas, kadar alkohol yang dihasilkan, dan hal-hal lain yang seharusnya sangat diperhatikan dalam proses produksi minol. Oleh karena itu, pemerintah sebagai regulator sekaligus pengawas akan kesulitan untuk mengatur produk-produk tersebut.

Tak heran bila Hal-hal tersebut membentuk stigma bahwa minol tradisonal tidak aman untuk dikonsumsi. Padahal minol tradisional sebetulnya sudah termasuk food grade dan layak dikonsumsi oleh manusia, dalam batas-batas tertentu yang diperkenankan karena diproduksi dari bahan-bahan alami seperti nira, beras, atau buah-buahan yang organik. Selain itu, proses produksi yang masih sangat tradisional juga dapat lebih menjamin keamanan produk karena tidak ditambahkan bahan kimia buatan lainnya.

Kesalahpahaman Mesti Diluruskan

Belum selesai mengenai legal, minol tradisional ini diperparah dengan hadirnya “oplosan” yang belakangan menyebabkan kematian. Secara mendasar, ‘oplosan’ merupakan campuran minuman ringan yang ditambahkan alkohol teknis atau alkohol yang tidak boleh dikonsumsi sama sekali. Oleh karena itu, pemerintah mesti memberikan edukasi mengenai bahaya “oplosan” dan menindak tegas segala jenis “oplosan” dan distribusinya.

Jadikan Minol Tradisional Sebagai Komoditi Unggulan  

Belajar dari minol asal negara lain, seperti vodka (Rusia), whisky (Amerika), wine (Prancis), gin (Inggris), sake (Jepang), soju (Korea), dan lain sebagainya sebagai salah satu komoditi unggulan suatu negara.

Berkaca dari hal tersebut, sebenarnya minol tradisonal Indonesia juga memiliki peluang pasar internasional yang prospektif mengingat konsumsi minol masyarakat dunia yang sangat tinggi.

Minol tradisional Indonesia yang digemari oleh para wisatawan mancanegara karena cita rasa yang khas dan bahan yang berkualitas tinggi seharusnya dilihat sebagai peluang untuk meningkatkan ekspor minol tradisonal Indonesia ke luar negeri, terutama negara-negara dengan tingkat konsumsi minol yang sangat tinggi.

Dengan begitu, roda perekonomian produsen lokal bisa lebih berkembang. Ini berarti peluang ekonomi bagi banyak orang yang terlibat dalam industri minol tradisional ini, mulai dari petani, buruh pabrik, suplier kemasan, hingga perusahaan kargo. Efek berganda dan berkelanjutan ini dapat menjadi solusi di tengah lesunya perekonomian Indonesia akhir-akhir ini.

sumber: (http://www.gohitz.com/article/budaya/serba-serbi_minol_tradisional_di_indonesia)